Masalah pendidikan di indonesia dan solusinya


Makalah

masalah pendididkan di indonesia

dan solusinya

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah                 : Pengantar Ilmu Pendidikan

Dosen Pengampu           : Hendra Dedi

Disusun Oleh

Kelompok 2

Ria Anggriasari 2302909012

Dwi Ismawan               5201404026

Nining Romdhoni          6102409069

Bagas Aulia                  6102409075

Wiji Nur Rahayu           7101409087

Hevit Gatariana 7101409192

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2010

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.
Suatu pendidikan dipandang bermutu-diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional-adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Untuk itu perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan demokratis.

Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan uu pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas sumber daya manusia dan mutu pendidikan di indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun sejatinya masih menjadi pr besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

a. Apa yang dimaksud dengan pendidikan dan dasar pendidikan di Indonesia?

b. Apa saja masalah prndidikan yang terjadi Indonesia?

c. Bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasinya?

C.  Tujuan

a. Pengertian pendidikan dan dasar pendidikan di Indonesia

b. Masalah pendidikan yang ada di Indonesia

c. Solusi yang tepat untuk mengatasinya

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Pendidikan dan Dasar Pendidikan di Indonesia
  2. Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah suatu …………………………………………………………………………………………

  1. Dasar Pendidikan Di Indonesia

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

  1. Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusi Pemecahannya
    1. 1. Masalah Mendasar : Sekularisme Sebagai Paradigma Pendidikan

Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah uu sisdiknas no. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”

Tapi perlu diingat, sekularisme itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti “iman” dan anti “taqwa”. Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah privat dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai perilaku individu).

Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada uu sisdiknas no. 20 tahun 2003 bab vi tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.

Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, depag), tidak mampu terjun di sektor modern.

Jadi, pendidikan sekular memang bisa membikin orang pandai, tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moral. Ini adalah out put umum dari sistem pendidikan sekular.

Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.

Solusi Pemecahannya

Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma islam. Ini sangat penting dan utama.

Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan, baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru, kesejahteraan gutu, prestasi siswa, kesempatan pemerataan pendidikan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan.

Solusi masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme diubah menjadi asas islam, bukan asas yang lain.

Bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total uu sistem pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan uu sistem pendidikan islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.

  1. 2. Masalah-Masalah Cabang

Masalah-masalah cabang yang dimaksud di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma pendidikan, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah cabang ini tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :

  1. A. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk Sarana Fisik Misalnya, Banyak Sekali Sekolah Dan Perguruan Tinggi Kita Yang Gedungnya Rusak, Kepemilikan Dan Penggunaan Media Belajar Rendah, Buku Perpustakaan Tidak Lengkap. Sementara Laboratorium Tidak Standar, Pemakaian Teknologi Informasi Tidak Memadai Dan Sebagainya. Bahkan Masih Banyak Sekolah Yang Tidak Memiliki Gedung Sendiri, Tidak Memiliki Perpustakaan, Tidak Memiliki Laboratorium Dan Sebagainya.

Data Balitbang Depdiknas (2003) Menyebutkan Untuk Satuan Sd Terdapat 146.052 Lembaga Yang Menampung 25.918.898 Siswa Serta Memiliki 865.258 Ruang Kelas. Dari Seluruh Ruang Kelas Tersebut Sebanyak 364.440 Atau 42,12% Berkondisi Baik, 299.581 Atau 34,62% Mengalami Kerusakan Ringan Dan Sebanyak 201.237 Atau 23,26% Mengalami Kerusakan Berat. Kalau Kondisi Mi Diperhitungkan Angka Kerusakannya Lebih Tinggi Karena Kondisi Mi Lebih Buruk Daripada Sd Pada Umumnya. Keadaan Ini Juga Terjadi Di Smp, Mts, Sma, Ma, Dan Smk Meskipun Dengan Persentase Yang Tidak Sama.

  1. B. Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan Guru Di Indonesia Juga Amat Memprihatinkan. Kebanyakan Guru Belum Memiliki Profesionalisme Yang Memadai Untuk Menjalankan Tugasnya Sebagaimana Disebut Dalam Pasal 39 Uu No 20/2003 Yaitu Merencanakan Pembelajaran, Melaksanakan Pembelajaran, Menilai Hasil Pembelajaran, Melakukan Pembimbingan, Melakukan Pelatihan, Melakukan Penelitian Dan Melakukan Pengabdian Masyarakat.

Bukan Itu Saja, Sebagian Guru Di Indonesia Bahkan Dinyatakan Tidak Layak Mengajar. Persentase Guru Menurut Kelayakan Mengajar Dalam Tahun 2002-2003 Di Berbagai Satuan Pendidikan Sbb: Untuk Sd Yang Layak Mengajar Hanya 21,07% (Negeri) Dan 28,94% (Swasta), Untuk Smp 54,12% (Negeri) Dan 60,99% (Swasta), Untuk Sma 65,29% (Negeri) Dan 64,73% (Swasta), Serta Untuk Smk Yang Layak Mengajar 55,49% (Negeri) Dan 58,26% (Swasta).

Kelayakan Mengajar Itu Jelas Berhubungan Dengan Tingkat Pendidikan Guru Itu Sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) Menunjukkan Dari Sekitar 1,2 Juta Guru Sd/Mi Hanya 13,8% Yang Berpendidikan Diploma D2-Kependidikan Ke Atas. Selain Itu, Dari Sekitar 680.000 Guru Sltp/Mts Baru 38,8% Yang Berpendidikan Diploma D3-Kependidikan Ke Atas. Di Tingkat Sekolah Menengah, Dari 337.503 Guru, Baru 57,8% Yang Memiliki Pendidikan S1 Ke Atas. Di Tingkat Pendidikan Tinggi, Dari 181.544 Dosen, Baru 18,86% Yang Berpendidikan S2 Ke Atas (3,48% Berpendidikan S3).

Walaupun Guru Dan Pengajar Bukan Satu-Satunya Faktor Penentu Keberhasilan Pendidikan Tetapi, Pengajaran Merupakan Titik Sentral Pendidikan Dan Kualifikasi, Sebagai Cermin Kualitas, Tenaga Pengajar Memberikan Andil Sangat Besar Pada Kualitas Pendidikan Yang Menjadi Tanggung Jawabnya. Kualitas Guru Dan Pengajar Yang Rendah Juga Dipengaruhi Oleh Masih Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Guru.

  1. Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan indonesia. Berdasarkan survei fgii (federasi guru independen indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru pns per bulan sebesar rp 1,5 juta. Guru bantu rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/lks, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (republika, 13 juli, 2005).

Dengan adanya uu guru dan dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (pns) agak lumayan. Pasal 10 uu itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.

Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan pikiran rakyat 9 januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 pts di jawa barat dan banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat uu guru dan dosen (pikiran rakyat 9 januari 2006).\

Permasalahan kesejahteraan guru biasanya akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan proses pendidikan. Berdasarkan hasil survei dari human development index (hdi) menunjukkan bahwa sebanyak 60% guru sd, 40% guru sltp, 43% guru smu, dan 34% guru smk belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan nasional. Lebih berbahaya lagi jika dilihat dari hasil temuan yang menunjukkan 17,2% guru di indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka. (toharuddin, oktober 2005).

Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan dapat memperoleh kompensasi yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pemberian reward dan punishment yang sesuai merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para pendidik agar dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.

  1. Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut trends in mathematic and science study (timss) 2003 (2004), siswa indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa malaysia dan singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.

Dalam hal prestasi, 15 september 2004 lalu United Nations For Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul human development report 2004. Di dalam laporan tahunan ini indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi indonesia berada jauh di bawahnya.

Dalam skala internasional, menurut laporan bank dunia (greaney,1992), studi iea (internasional association for the evaluation of educational achievement) di asia timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas iv sd berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa sd: 75,5 (hongkong), 74,0 (singapura), 65,1 (thailand), 52,6 (filipina), dan 51,7 (indonesia).

Anak-anak indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

Selain itu, hasil studi the third international mathematic and science study-repeat-timss-r, 1999 (iea, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa sltp kelas 2 indonesia berada pada urutan ke-32 untuk ipa, ke-34 untuk matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah asia week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

  1. E. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan.

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat sekolah dasar. Data balitbang departemen pendidikan nasional dan direktorat jenderal binbaga departemen agama tahun 2000 menunjukan angka partisipasi murni (apm) untuk anak usia sd pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian apm ini termasuk kategori tinggi. Angka partisipasi murni pendidikan di sltp masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut

  1. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data bappenas (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan smu sebesar 25,47%, diploma/s0 sebesar 27,5% dan pt sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data balitbang depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

  1. Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari taman kanak-kanak (tk) hingga perguruan tinggi (pt) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

Untuk masuk tk dan sdn saja saat ini dibutuhkan biaya rp 500.000, — sampai rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas rp 1 juta. Masuk sltp/slta bisa mencapai rp 1 juta sampai rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan mbs (manajemen berbasis sekolah). Mbs di indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah/dewan pendidikan yang merupakan organ mbs selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan komite sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota komite sekolah adalah orang-orang dekat dengan kepala sekolah. Akibatnya, komite sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan kepala sekolah, dan mbs pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya ruu tentang badan hukum pendidikan (ruu bhp). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan tinggi negeri pun berubah menjadi badan hukum milik negara (bhmn). Munculnya bhmn dan mbs adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. Bhmn sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa perguruan tinggi favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri indonesia sebesar 35-40 persen dari apbn setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (kompas, 10/5/2005).

Dari apbn 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam apbn (www.kau.or.id). Rencana pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti undang-undang sistem pendidikan nasional, ruu badan hukum pendidikan, rancangan peraturan pemerintah (rpp) tentang pendidikan dasar dan menengah, dan rpp tentang wajib belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam pasal 53 (1) uu no 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator lsm education network for justice (enj), yanti mukhtar (republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi revrisond bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat bank dunia. Melalui rancangan undang-undang badan hukum pendidikan (ruu bhp), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (bhp) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari sd hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa ptn yang sekarang berubah status menjadi badan hukum milik negara (bhmn) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di indonesia. Di jerman, prancis, belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

  1. Belum Menghasilkan Life Skill Yang Sesuai

Dalam kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, maka berdasarkan pp no.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum untuk smp/mts/ smplb atau bentuk lain yang sederajat, sma/ma/smalb atau bentuk lain yang sederajat, smk/mak atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Selain itu ditetapkan pula standar kompetensi lulusan, dalam pasal 26 ditetapkan sebagai berikut: 1). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, akhlak mulia, serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 3). Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan kepribadianm akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. 4). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Adapun kriteria penilaian hasil belajar dapat dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, maupun pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh pendidik diatur dalam pasal 64 antara lain penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama, akhlak mulia, pendidikan kewarganegaraan dan akhlak mulia dilakukan melalui: a. Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik, serta. B. Ulangan, ujian, dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai. Penilaian hasil belajr kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan dolakukan melalui: a. Pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk meniali perkembangan psikomotorik dan afektif peserta didik, dan; b. Ulangan dan atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam menciptakan life skill yang diharapkan dimiliki oleh siswa ukuran yang digunakan adalah penilaian-penilaian di atas. Namun kenyataan sebaliknya justru menunjukan bahwa korelasi antara proses pendidikan selama ini dengan pembentukan kepribadian siswa merupakan hal yang dipertanyakan? Kasus tawuran antar pelajar, seks bebas, narkoba, dan berbagai masalah sosial lainnya merupakan indikator yang relevan untuk mempertanyakan hal ini.

  1. Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada Masyarakat Dan Potensi Daerah

Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan uu no.20/2003 dalam pasal 36 tentang kurikulum menyebutkan: (1) pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan republik indonesia dengan memperhatikan: a. Peningkatan iman dan takwa; b. Peningkatan akhlak mulia; c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. Tuntutan dunia kerja; g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. Agama; i. Dinamika perkembangan global; dan j. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dalam pp no.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang menyebutkan:1) kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan akhlak mulia, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan. 6). Kurikulum dan silabus sd/mi/sdlb/paket a, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.

Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian yang terintegrasi dengan siswa sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sebenarnya tentu melibatkan peranan keluarga, lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga jika salah satunya tidak berjalan dengan baik maka dapat mempengaruhi keberlangsungan pendidikan itu sendiri.

  1. Belum Optimalnya Kemitraan Dengan Dunia Usaha/ Dunia Industri

Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam uu no.20/2005 sisdiknas pasal 54 tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan menyebutkan : (1) peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Sebagai contoh, sebagaimana diungkapkan oleh kadisdik jabar, dadang dally bahwa dunia usaha dan dunia industri merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Perihal kegiatan kerjasama dengan dunia usaha sinergitas telah mulai dilakukan. Prosesnya telah memasuki tahap inventarisasi. Implementasinya, dunia usaha didorong untuk membangun sekolah, bukan menggalang dana dari dunia usaha. (www.bapeda-jabar.go.id/2006)

Hal yang justru memunculkan kerawanan saat ini adalah dengan adanya ruu bhp maka peranan pihak swasta (pengusaha) mendapatkan akses yang lebih luas untuk mengelola pendidikan, sehingga bagaimana jadinya kalau kemitraan dengan du/di tersebut ternyata menempatkan pengusaha ataupun perusahaan sebagai pihak yang berinvestasi dalam lembaga pendidikan dengan menuntut adanya return yang sepadan dari investasinya tersebut? Kondisi ini pada akhirnya akan memperkokoh keberlangsungan kapitalisasi pendidikan.
Dalam kaitan antara penyerapan du/di terhadap lulusan sekolah maka berdasarkan data bappenas (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan smu sebesar 25,47%, diploma/s0 sebesar 27,5% dan pt sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data balitbang depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

  1. Proses Pembelajaran Yang Konvensional

Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.

Dalam pp no 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Kenyataan saat ini, banyak diantara pendidik di kota bandung yang masih melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet. sebagaimana di beritakan dalam http://www.pikiran rakyat.com (03/2004) bahwa ternyata di kota bandung banyak guru sd yang belum menguasai komputer dan internet. menurut forum aksi guru indonesia (fagi) kota bandung, hanya sebagian kecil guru yang sudah menguasai teknologi tersebut, padahal menguasai komputer akan mempermudah tugas guru, misalnya ketika memproses nilai-nilai siswa. terutama guru-guru yang sudah lama mengabdi, sedikit sekali menguasai komputer dan mengakses internet. apalagi guru-guru sd, sehingga sekarang ini pada umumnya kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi ini kalah oleh para siswanya. padahal, dengan penguasaan teknologi informasi tersebut akan mempermudah tugas rutin para guru. selama ini, tugas tersebut dilakukan guru secara manual. kurangnya penguasaan komputer tersebut bukan karena tidak tersedianya sarana komputer di sekolah, namun karena kurang kemampuan dan kemauan. sehingga, komputer tersebut lebih banyak digunakan oleh bagian tata usaha. akibatnya, saat seorang guru yang memerlukan jasa komputer, cenderung untuk minta bantuan tenaga karyawan tata usaha.

sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.

3. mutu sdm pengelola pendidikan

sumber daya pengelola pendidikan bukan hanya seorang guru atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. rendahnya mutu dari sdm pengelola pendidikan secara praktis tentu dapat menghambat keberlangsungan proses pendidikan yang berkualitas, sehingga adaptasi dam sinkronisasi terhadap berbagai program peningkatan kualitas pendidikan juga akan berjalan lamban.

dalam kaitannya dengan regulasi pengelolaan pendidikan maka yang dilakukan oleh pemerintah saat ini mengacu pada uu no.20/2003 dan pp no 19/2005 tentang snp yang dalam pasal 49 tentang standar pengelolaan oleh satuan pendidikan yang intinya menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah menerapkan pola manajemen berbasis sekolah, sedangkan untuk satuan pendidikan tinggi menerapkan pola otonomi perguruan tinggi. Standar pengelolaan oleh satuan pendidikan diantaranya satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang : kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus; kalender pendidikan/akademik; struktur organisasi; pembagian tugas diantara pendidik; pembagian tugas diantara tenaga kependidikan; peraturan akademik; tata tertib satuan pendidikan; kode etik hubungan; biaya operasional satuan pendidikan.

Kemudian standar pengelolaan oleh pemerintah daerah (pasal 59) meliputi penyusunan rencana kerja pendidikan dengan memprioritaskan: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai profesi; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat; dan pemenuhan standar pelayanan minimal (spm) bidang pendidikan.

Sedangkan standar pengelolaan oleh pemerintah (pasal 60) meliputi penyusunan rencana kerja tahunan dengan memprioritaskan program: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai profesi; peningkatan mutu dosen; standardisasi pendidikan; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan lokal, nasional dan global; pemenuhan standar pelayanan minimal (spm) bidang pendidikan; dan penjaminan mutu pendidikan nasional.
Dengan memahami kerangka dasar penyelenggaraan pendidikan nasional yang berlandaskan sekulerisme, maka standar pengelolaan pendidikan secara nasionalpun akan sejalan dengan sekulerisme tersebut, semisal adanya mekanisme mbs dan otonomi pt sebagaimana disebutkan di atas yang merupakan implementasi dari otonomi pendidikan.

Solusi Pemecahannya

Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, Untuk mengatasi masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:

Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan gutu, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.

Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya. Upaya perbaikan secara tambal sulam dan parsial, semisal perbaikan kurikulum, kualitas pengajar, sarana-prasarana dan sebagainya tidak akan dapat berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum diperbaiki.

17 Responses so far »

  1. 1

    wajdi said,

    kapitalisme sering kali dipandang negatif, akan tetapi kita terkadang tidak merasa bahwa kita sedang menikmati dampak dari kapitalisme…

  2. 2

    Hakim said,

    Makalah yg bagus, boleh tau gak daftar pustakanya dari mana aja,, lagi punya tugas yg hampir mirip…

  3. 3

    abibunda said,

    Salam Silaturahmi
    inilah wajah pendidikan di Indonesia
    Saya setuju dengan Solusi sistemik dan Tekniknya

    http://www.abibunda.info/2012/03/jangan-sedih-berkepanjangan.html

  4. 4

    Nna said,

    apakah permasalahan yang paling mendasar terhadap islam di indonesia??….

  5. 6

    ragih said,

    ngebantu banget. thank u:)

  6. 8

    rudi said,

    bgus loh… gimana caranya agar kualitas pendidikan kita semakin maju. salam kenal

  7. 9

    jangan dibuka kecuali yang resah dgn pendidikin indonesia karena isinya betul2 menjewer kuping kita sendiri 😀

    for better education development in indoesia with proud click http://www.blogger.com/comment.g?blogID=8970332&postID=109935643955275349

  8. 10

    abdul kadir said,

    makalah ini copy paste dari tulisan orang lain. jangan sampai terjadi plagiat

  9. 11

    caranya berantas korupsi biar ga ada lagi yang ngelipet anggaran pendidikan buat memperkaya diri

  10. 13

    Oki_Anggara said,

    yang pemerataan pendidikannyaa belum dijawab lengkap -_-

  11. 14

    heni said,

    that good ,,,,,,makalah nya bgusss bangettttt 🙂

  12. 17

    082221321185 said,

    COPAS


Comment RSS · TrackBack URI

Leave a reply to Nna Cancel reply